Kamis, 02 September 2010

LRB

Kamir Raziudin Brata

Pencetus Lubang Resapan Biopori

Melestarikan lingkungan hidup tak perlu teknologi yang sulit-sulit. Berbagi kepada yang miskin juga tidak perlu menunggu kaya. Itu falsafah Kamir Raziudin Brata yang sehari-hari mengajar mahasiswa di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kamir pula yang mencetuskan teknologi untuk melestarikan fauna tanah dengan lubang resapan biopori (LRB). Dari fungsi meresapkan air ke dalam tanah, LRB secara masif bisa mengurangi risiko banjir. LRB dibuat dengan alat sederhana sehingga Kamir menyebut tidaklah perlu teknologi yang sulit untuk melestarikan lingkungan.

Lalu, apa pula maksud dia, tak perlu menunggu kaya untuk berbagi dengan mereka yang miskin?

Sebab, LRB bisa sekaligus menampung sampah organik. Dengan sendirinya, orang pun dituntut memilah sampah nonorganik, yang kemudian dipungut pemulung sebagai nafkah.

”Tidak perlu menunggu kaya untuk berbagi kepada para pemulung,” kata Kamir sambil menunjukkan sebuah karung berisi antara lain kertas, plastik, botol, dan kaleng di sudut halaman rumahnya. Dalam sepekan, isi karung itu selalu habis dikuras para pemulung.

Liang biopori

LRB merupakan lubang silindris pada permukaan tanah. Ukurannya sengaja dibuat kecil untuk mengoptimalkan penampang vertikal tanah. Diameter yang lazim hanya 10 sentimeter. Kedalamannya cukup satu meter dengan pengertian lebih dari itu akan makin sedikit oksigen sehingga fauna tanah sulit bertahan hidup.

Alat pembuat LRB disusun dari batang pipa besi 3/4 inci. Pada ujung bawah diberi mata bor tanah dengan lebar sesuai dengan diameter lubang yang diinginkan. Pada bagian atas dibuat pipa melintang untuk memudahkan pegangan ketika ingin memakainya.

”Tukang las besi di mana-mana bisa membuatnya,” kata Kamir, pria kelahiran Cirebon yang dikaruniai dua anak tersebut.

Kerendahan hati juga mencuat pada sosok Kamir. Ia tak ingin mematenkan alat pembuat LRB meski alat tersebut ditemukannya sejak tahun 1976. Akhir-akhir ini pihak instansi IPB-lah yang ingin mengajukan paten tersebut.

Menurut Kamir, paten itu bermanfaat bagi IPB sekadar untuk mengingatkan asal-muasal LRB. Kelak akan memudahkan penelusuran metodologinya dalam kerangka teknologi untuk kelestarian lingkungan.

Padahal, pada masa awal dia memulai menerapkan LRB banyak orang yang tak menanggapinya dengan serius. Mereka justru menganggap LRB terlalu sederhana, relatif bisa dilakukan semua orang.

”Karena terlalu sederhana itu, orang mungkin jadi tidak percaya kalau LRB ada gunanya,” kata Kamir yang justru berusaha membuat alat sesederhana mungkin sehingga semua orang bisa menggunakannya.

Sosialisasi

Sejak banjir besar melanda Jakarta sekitar Februari 2007, dia makin getol menyosialisasikan LRB kepada masyarakat. Ia menyosialisasikan LRB mulai dari tingkat rukun tetangga (RT) sampai provinsi, seperti DKI Jakarta, dan beberapa universitas di Indonesia.

”Sosialisasi LRB sampai di tingkat RT sekaligus pertanggungjawaban moral seorang ilmuwan bagi masyarakat,” kata Kamir yang pada April 2007 mendapat penghargaan dari Wali Kota Bogor untuk LRB-nya itu.

LRB memperkecil ruang alasan bagi masyarakat untuk tidak mengambil peran bagi upaya pelestarian lingkungan, dengan cara meresapkan air bersih (air hujan) sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. LRB dapat diaplikasikan pada lahan sempit dengan fleksibel sekalipun di lokasi yang secara ekstrem dibuat perkerasan 100 persen.

Pemilik rumah dapat membuat LRB pada tanah terbuka, yang sekaligus menjadi jalur masuk ke rumah. Di sini yang penting lokasi LRB disesuaikan menjadi permukaan paling rendah sehingga air hujan mengalir ke LRB. Jarak LRB satu dengan yang lain juga sangat fleksibel, bisa sampai radius 20 sentimeter dengan perkerasan bibir lubang di permukaan.

Kalau LRB berfungsi meresapkan air ke dalam tanah, lalu apa bedanya dengan sumur resapan atau situ?

”Hal paling pokok yang membedakan LRB dengan sumur resapan atau situ adalah pada terciptanya liang biopori pada LRB,” katanya.

Liang biopori merupakan terowongan-terowongan kecil di dalam tanah yang terbentuk oleh aktivitas fauna tanah seperti cacing, selain akibat sistem perakaran pohon. Liang biopori ini terisi udara dan bisa memperlancar jalur air yang meresap.

Letak beda yang juga krusial antara LRB, sumur resapan, dan situ adalah pada penambahan luas penampang tanah. Makin berkali-lipat luas penampang tanah, makin besar pula potensi meresapkan air ke dalam tanah.

Kamir membuat perbandingan luas mulut lubang dari yang terkecil dengan diameter 10 sentimeter sampai 100 sentimeter. Makin kecil diameternya, maka beda kali lipat luas penampang tanahnya makin besar.

Keanekaragaman hayati

”LRB jelas-jelas berbeda dengan sumur resapan atau situ,” ujar Kamir sambil menambahkan, LRB memiliki kompleksitas fungsi. LRB berfungsi meningkatkan laju peresapan air ke dalam tanah untuk dijadikan sebagai cadangan air tanah.

Fungsi lainnya, sampah organik di dalam LRB pada hitungan waktu tertentu juga dapat dipungut kembali sebagai pupuk kompos.

Keteruraian sampah organik di dalam LRB berkat peran biodiversitas (keanekaragaman hayati) tanah sehingga LRB sekaligus menjaga kelangsungan biodiversitas fauna tanah.

”Selama ini keanekaragaman hayati yang dijaga seperti harimau yang akan punah atau jenis satwa lainnya yang mulai langka, tetapi fauna tanah jarang dijaga kelangsungan hidupnya,” kata Kamir bernada keluhan.

Dia menambahkan, di dalam tanah ada kehidupan. Semestinya, setiap manusia juga menjaga kehidupan di dalam tanah.

Begitu tak diperhatikannya kelangsungan hidup fauna tanah, sampai-sampai Kamir kerap kali menyitir salah satu syair dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolph Supratman. Ini demi menunjukkan pentingnya menjaga kehidupan di dalam tanah.

Hal seperti itulah yang biasa dikemukakan Kamir saat memberikan sosialisasi fungsi LRB mulai dari tingkat RT sampai provinsi. Bait itu berbunyi, ”Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya....”

”Kesadaran pentingnya menjaga kehidupan tanah selalu diingatkan di dalam lagu kebangsaan kita,” kata Kamir.

Bila dikaitkan dengan isu pemanasan global, menurut Kamir, LRB bisa berfungsi untuk mengikat karbon dioksida.

Belakangan, semakin banyak orang yang menerapkan LRB karena menganggap sistem ini dapat diandalkan. Namun, Kamir mengaku tak mungkin bekerja sendiri. Dia berharap banyak pihak berminat mengembangkan aplikasi LRB yang dirintisnya.

”LRB terbukti bisa untuk mengurangi genangan. Tetapi, ketika hujan terjadi, faktanya, masih timbul genangan air di mana-mana dan mengakibatkan banyak jalan menjadi rusak parah,” katanya prihatin. (Oleh: Nawa Tunggal, Kompas, Sabtu, 8 Maret 2008)ti

Kamir Raziudin Brata, peneliti IPB yang memperkenalkan teknologi yang disebut biopori. Biopori adalah teknologi alternatif penyerapan air hujan selain dengan sumur resapan. Istilah beken untuk biopori adalah istana cacing, walaupun sebenarnya penghuni biopori bukan hanya cacing saja.

Teknologinya sederhana, cukup dengan membuat lubang di dalam tanah dengan kedalaman sekitar 1 meter dan diameter kurang lebih 10 cm, kemudian sampah-sampah organik dimasukkan kedalamnya untuk memancing binatang-binatang, semut, cacing atau rayap masuk dan membuat biopori berupa terowongan-terowongan kecil sehingga air cepat meresap. Karenanya walaupun air tekumpul disitu, kondisinya tidak jenuh air yang berarti air cukup, udara cukup, dan makanan tercukupi dari sampah -- yang juga menyebabkan sampah tidak menyebarkan bau. Untuk mencegah orang terperosok, biopori dapat dilengkapi dengan jaring kawat pengaman.

Biopori membuat keseimbangan alam terjaga, sampah organik yang sering menimbulkan bau tidak sedap dapat tertangani, disamping itu kita dapat menabung air untuk keperluan musim kemarau. Penerapan biopori di rumah tangga sangat mungkin dilakukan karena sampah organik dapat dengan mudah ditemukan di dalam rumah.

Caranya dengan memasukkan sampah rumah tangga organik ke dalam biopori setelah memisahkan sampah anorganik ke dalam wadah lain. Dengan cara itu sampah organik yang sering menimbulkan bau tak sedap akan habis dimakan “penghuni” lubang biopori. Pemisahan sampah bermanfaat untuk mempermudah pemulung sehingga mereka tidak perlu mengais-ngais sampah lagi. Pembuatan biopori juga mengurangi aliran air dari halaman rumah satu ke halaman rumah lainnya, atau ke daerah lain yang lebih bawah, yang bisa menyebabkan banjir. Air hujan yang terserap ke dalam lubang biopori juga menambah jumlah cadangan air tanah di daerah itu.

Kelebihan lain dari biopori adalah memperkaya kandungan air hujan. Bila sumber air hanya berupa air hujan tanpa tambahan apa-apa berarti kandungannya hanya H2O. Namun setelah diresapkan kedalam tanah lewat biopori yang mengandung lumpur dan bakteri, air akan melarutkan dan kemudian mengandung mineral-mineral yang diperlukan oleh kehidupan.

Jangan bayangkan lubang biopori hanya bisa dibuat di kampung-kampung yang masih punya halaman luas. Biopori dapat dibuat di rumah yang halamannya terbatas karena ukuran diameternya hanya sekitar 10 cm. Bahkan bisa dilakukan di bangunan-bangunan modern yang halamannya telah di beton atau di semen. Tentu saja harus ada pengorbanan yang dilakukan, yaitu dengan melakukan pelubangan terhadap beton dan semen -- memang memakan biaya -- namun perlu dilakukan karena sangat bermanfaat untuk mencegah banjir dan memperbanyak cadangan air tanah. Pembuatan biopori mungkin tidak cukup dengan himbauan sukarela, tetapi harus dengan sedikit “paksaan” atau jika perlu dengan peraturan daerah. Toh hasilnya akan dinikmati oleh semua penduduk kota.

Sang penemu biopori, Kamir Raziudin Brata adalah seorang peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB. Pria kelahiran Cirebon memperkenalkan biopori sebagai teknologi untuk mengurangi sampah organik dan mengatasi banjir. Pemkot Bogor telah menyambut baik teknologi Biopori untuk diterapkan di wilayahnya. Pada ulang tahunnya bulan Juni ini, Kota Bogor menargetkan pembuatan lubang biopori sebanyak 22.407 buah.

www.republika.co.id
Republika, Minggu, 20 Mei 2007
Wawancara dengan Kamir R Brata
Membangun Istana Cacing

Teknik Biopori Diperkenalkan

Jakarta – Dalam upaya konservasi dan penyimpanan air tanah hingga tidak terjadi kekeringan di musim kemarau dan tidak banjir di musim hujan, Departemen Arsitektur Lanskap Faperta Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama PT Erhalogy, produk perawatan kesehatan kulit pria dan wanita, mengenalkan penerapan teknik biopori kepada RW 08 Kampung Kalibata Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta.
Ditemukan dan diperkenalkan pertama kali oleh Kamir Raziudin Brata, biopori diciptakan untuk mengolah sampah rumah tangga yang berbentuk bahan organik menjadi kompos dengan cara sederhana.
Cukup dengan memendamnya dengan lubang tanah yang digali di pekarangan rumah, teknologi ini dapat memperbaiki struktur dan aerasi tanah, serta drainase lahan. Ketika turun hujan, sebagian air dapat meresap di dalam tanah, melalui lubang-lubang yang bisa mengatasi masalah banjir.
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB, Hadi Susilo Arifin, mengatakan penerapan teknik biopori diawali di Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pada tahap pertama, kegiatan dilaksanakan pada satu RW, yang terdiri dari empat RT, dengan masing-masing 30 rumah tangga, yaitu RT 09, RT 010, RT 012, dan RT 013. Pada setiap lima rumah tangga, akan diproduksikan satu buah Bordosi yang akan digunakan untuk membuat lubang resapan.
Selain itu, diserahkan 120 tempat sampah untuk digunakan 30 rumah tangga, delapan drum tempat pembuatan Effective Microorganism (EM), sejumlah starter EM, delapan paket bahan EM yang sudah jadi, 60 leflet, dan lima poster A1. (romauli SINAR HARAPAN, Sabtu, 17 November 2007)

Peduli Banjir & Global Warming Erhalogy Kembangkan Teknik Biopori

Sampah rumah tangga yang selama ini disia-siakan pengelolaannya dan menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir besar di kota Jakarta, dapat dikendalikan, bahkan bisa menjadi kompos sehingga lingkungan akan menjadi lebih hijau, bersih, indah, nyaman dan aman.

Kepedulian PT Erhalogy , produk perawatan kesehatan kulit untuk wanita dan pria, ternyata tidak saja peduli dengan masalah kesehatan kulit, namun juga memiliki komitmen untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat sekitar.

Contohnya terhadap dampak negatif dari global warming terhadap alam dan lingkungan hidup. Bukti kepedulian sosial tersebut,ditunjukkan oleh Erhalogy dengan menggandeng Tim dari Departemen Arsitektur Lanskap-Faperta IPB untuk melakukan Penerapan Teknik Biopori di Pekarangan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan Jakarta.

Melalui penerapan lubang resapan dengan teknik Biopori ini, dapat dilakukan konservasi air, sehingga air dapat disimpan di dalam tanah. Diharapkan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan dan sebaliknya di musim hujan tidak banjir. Lebih jauh lagi, sampah rumah tangga yang selama ini disia-siakan pengelolaannya dan seringkali menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir besar di kota Jakarta, dapat dikendalikan, bahkan bisa menjadi kompos sehingga lingkungan akan menjadi lebih hijau, bersih, indah, nyaman dan aman.

Biopori ini sendiri ditemukan serta diperkenalkan oleh Ir. Kamir Raziudin Brata, MS. dari Institut Pertanian Bogor.

Biopori diciptakan untuk mengolah sampah rumah tangga yang berbentuk bahan organik menjadi kompos dengan cara yang sangat sederhana. Hanya dengan memendamnya dalam lubang tanah yang digali di pekarangan rumah!

Selain mengatasi masalah sampah, teknologi ini dapat memperbaiki struktur dan aerasi tanah, serta drainase lahan. Sehingga ketika turun hujan sebagian air dapat meresap ke dalam tanah melalui lubang-lubang Biopori, yang bisa mengatasi masalah banjir.


lubang biopori berisi cacing
”Teknik Biopori memiliki berbagai keuntungan. Antara lain, sampah organik yang terkumpul di dalam lubang Biopori akan menjadi kompos setelah 3 sampai 4 minggu dalam tanah bila ditambah dengan larutan effective microorganism (EM),” ujar Dr. Tati Budiarti, anggota Tim dari Departemen Arsitektur Lanskap - Faperta IPB kepada rileks.com, Sabtu, 17/11-2007, di pekarangan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan Jakarta.

Hasil kompos tersebut tak hanya bisa digunakan untuk menyuburkan tanah pekarangan rumah namun bisa juga dipasarkan sehingga memberikan kontribusi pada pendapatan keluarga.

”Sebagai brand yang selama ini sangat peduli dengan masalah kesehatan kulit pada wanita dan pria, Erhalogy juga tidak menutup mata dengan masalah yang dihadapi masyarakat sekitar. Terutama menyangkut masalah lingkungan hidup seperti global warming," tutur Djoko Kurniawan, Brand & CRM Manager - Erhalogy, kepada rileks.com .

Erhalogy juga memahami bahwa akibat efek pemanasan global tersebut masyarakat akan mengalami berbagai masalah yang cukup serius. Mulai dari kekeringan, banjir, hingga suhu yang makin memanas yang nantinya akan berdampak negatif pada kulit dan tubuh seseorang. Itu sebabnya Erhalogy merasa terpanggil untuk memberikan solusi pada masyarakat melalui kegiatan penerapan teknik Biopori ini,lanjut Djoko Kurniawan.

”Dana untuk kegiatan ini kami kumpulkan dari lelang foto dalam pameran yang yang bertajuk Ageposure - Aging Through The Eyes of 5 Photographers yang telah kami lakukan beberapa bulan lalu di Jakarta dan Bandung.”


Sketsa penampang lubang resapan
Program pertama ini akan berjalan di Jakarta selama 4 bulan, yang secara beriringan dilaksanakan pula di Kampung Sirnagalih dan Kampung Pagentongan, Kelurahan Loji, kota Bogor. Sehingga secara bertahap kontribusi Erhalogy dalam mengatasi masalah lingkungan dan global warming dapat dirasakan oleh masyarakat yang cukup luas.

”Program ini diharapkan bisa berlangsung lancar sehingga bisa membuka wawasan kita semua bahwa melalui teknologi yang sederhana tetapi sangat inovatif, bisa memberikan kontribusi besar bagi penanganan masalah lingkungan. Bukan tidak mungkin, kita bisa membantu pemerintah dalam mengatasi masalah banjir yang kerap mengkhawatirkan warga Jakarta."

Sebagai brand yang menawarkan solusi bagi perawatan kesehatan kulit wanita dan pria Indonesia, Erhalogy sendiri, aku Djoko, akan terus mempertahankan komitmennya untuk mencari hal-hal yang inovatif agar dapat memberikan yang terbaik dan terbaru bagi para konsumen loyalnya. (lily http://www.rileks.com/ragam/index.php?act=detail&artid=31102006116181)


Kecil Lubangnya Besar Manfaat

Kota kita tercinta Salatiga Hati Beriman, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Jika musim penghujan tiba, tidak jarang matahari hanya nampak pada jam 11.00-12.00 saja, itupun masih diselimuti awan. Namun herannya, di musim kemarau orang direpotkan dengan masalah kekurangan air, terlebih lagi daerah sebagian kecamatan Argomulyo kawasan atas.

Kelangkaan air ini merupakan masalah tahunan yang dihadapi Kota Salatiga, di lain sisi kota ini dikelilingi wilayah yang memiliki sumber mata air dengan debit cukup tinggi. Contohnya: pemandian Senjoyo, Muncul, Rawa Permai yang merupakan wilayah Kabupaten Semarang. Sedang di Salatiga sendiri juga memiliki banyak sumber mata air seperti Kelurahan Kecandran dan Kutowinangun serta masih banyak potensi mata air lainnya.

Permasalahan ini menimbulkan rasa gerah dikalangan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Salatiga, utamanya Bidang Lingkungan. Oleh karenanya mulai tahun 2007 ini getol mempromosikan satu temuan salah satu insinyur dari Institut Pertanian Bogor (IPB) berupa lubang resapan air.

Dia adalah Ir. Kamir Raziudin Brata, M.Sc penemu teknologi lubang resapan sederhana yang diberi nama Lubang Resapan Biopori (LRB), sedang karena peningkatan laju resapan air terjadi karena terbentuknya bioposi maka system tersebut diperkenalkan sebagai Saluran Resapan Biopori (SRB).

LBR merupakan lubang berbentuk silinder yang memiliki ukuran diameter 10-30 cm dengan kedalaman 100 cm, namun jangan sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang-lubang biopori ini nantinya dapat diisi dengan sampah-sampah organic baik dari limbah rumah tangga, atau berupa daun agar mendorong terbentuknya biopori. Jadi biopori adalah lubang/terowongan kecil yang dibentuk oleh aktivitas fauna (mikrobia) tanah dan akar tanaman.

Selain sebagai lubang resapan, LRB juga secara otomatis berfungsi mencegah banjir di musim penghujan karena meningkatkan daya resap tanah, mengubah sampah organic menjadi kompos, meningkatkan peran aktivitas fauna tanah serta mengatasi masalah yang ditimbulkan karena masalah genangan air berupa penyakit demam berdarah dan malaria.

Mengenai lokasi pembuatan LBR ini dapat ditempatkan dimana saja, misalnya halaman, kebun, saluran air, tempat genangan air dan sebagainya asalkan lokasi tersebut dapat dialiri air hujan dan tidak tertutup oleh atap.

Tahapan pembuatan LRB adalah : pertama, buatlah lubang silinder ke dalam tanah dengan diameter 10-30 cm serta kedalaman 100 cm (jangan sampai melebihi kedalaman air tanah), jarak lubang 50-100 cm. Kedua, mulut lubang dapat diperkuat dengan adukan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 cm mengelilingi lubang. Ketiga, segera isi LRB dengan sampah organic. Keempat, kompos yang terbentuk dalam lunbang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang. Kelima, sampah organic perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang sudah berkurang isinya karena proses pelapukan.

Sedangkan jumlah lubang yang harus dibuat untuk setiap luas tanah adalah dapat menggunakan rumus (50X100): 180= 27, sekian. Jadi untuk setiap tanah seluas 100 m2 diisi dengan 28 lubang biobori. Contoh tersebut adalah untuk daerah dengan intensitas curah hujan 50 mm/jam (hujan lebat), dengan laju peresapan air perlubang 33 liter/menit.

Bila lubang biopori tersebut dibuat dengan kedalaman 100 cm dengan diameter 10 cm, setiap lubang dapat menampung 7,8 liter sampah organic, dan ini dapat dipenuhi sampah organic dapur 2-3 hari. Dengan demikian 28 lubang baru dapat dipenuhi sampah organic

Maka selain mimiliki fungsi penyerap air, LRB juga dapat meringankan mengatasi masalah persampahan di perkotaan, utamanya sampah organik yang dapat terurai. Apabila pembuatan lobang biopori telah membudaya di tiap-tiap warga maka barang tentu permasalahan menumpukanya sampah di TPA akan terkurangi.

Di Salatiga sosialisasi tentang teknis pembuatan dan manfaat lubang biopori telah dilaksanakan oleh DPLH, antara lain di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, di Jembrak Kabupaten Semarang dengan peserta LSM dan tokoh masyarakat Salatiga, di SD Kecandran, di SMP N 5 Salatiga, di SMK 2 Salatiga, di Universitas Kristen Satyawacana (UKSW) dan di daerah masing-masing staf DPLH.

“Dibanding dengan sumur resapan, system ini lebih murah. Jika sumur resapan ditaksir menghabiskan dana 1-2 juta, sedangkan dengan alat pembuat lubang biopori harganya antara 150-250 ribu. Akan lebih irit lagi jika alat tersebut digunakan bersama-sama, misalnya tiap RW memiliki satu” terang Riawan Widyatmoko Sataf DPLH.

“Selama sosialisasi minat warga Salatiga cukup tinggi, namun mereka belum mau bertindak. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh enggannya mereka membeli alat pembuat lubang. Memang manfat biopori agar menghasilkan mata air cukup lama, tapi manfaat mencegah banjir dan mengatasi permasalahan sampah dapat dirasakan”tambah Riawan.

Saat ini target utama DPLH adalah Salatiga bagian atas di Kecamatan Argomulyo dan Sidomukti. Daerah ini sangat strategis untuk daerah resapan, karena air hujan tidak mengalir diatas tanah melainkan di dalam tanah setelah diserap lubang biopori.

Ada anggapan air yang ada di lubang bipori akan menimbulkan bau dan mencemari air bawah tanah. Hal tersebut dibantah oleh Ir. Kamir penemu teknologi ini. Hal tersebut tidak akan terjadi karena sampah organic jumlahnya sedikit demikian juga air yang masuk, sehingga tidak akan terjadi genangan. Air akan meresap kedalam tanah sehingga memudahkan proses penguraian sampah yang relatif cepat. Kasmir juga menambahkan jika pada sumur resapan, mungkin terjadi munculnya bau karena volume air yang cukup tinggi dan menggenang.(lux)

Sumber: DPLH Kota Salatiga, Percik dan Makalah Ir. kamir R. Brata.